Bukannya sengaja menenggelamkan diri lagi ke dalam masa yang lepas, tetapi memang kejadian itu tiba-tiba berkelabat saja ketika saya sedang membaca (kembali) Eldest. Padahal tidak ada cerita pada novel itu yang mengingatkan saya pada si Tea yang aneh satu bulan yang lalu.
Jadi, satu bulan yang lalu saya merasa tidak berarti. Sangat..sangat tidak berarti. Kenapa? Karena ada objectives dalam hidup yang tidak bisa saya capai sesuai target. Apa yang terjadi? Saya lepas kendali. Saya menjadi seseorang yang tidak saya kenali. Bahkan The Dearest pun sampai totally apprehensive mengetahui saya bisa sampai lepas kendali seperti itu.
Sampai pada akhirnya saya menyadari kalau ini sudah berlebihan. Kesedihan yang berlebihan. Jadi, ada sesuatu lah yang akhirnya membuat saya membumi kembali.
Adalah The Dearest, yang sore itu berceletuk. Mending kalau celetukannya itu nyambung sama apa yang sedang kami bicarakan. Ini mah jauh banget. Tapi ternyata mampu membuat saya membumi.
Ibaratnya perkataannya itu adalah cermin berukuran besar yang kemanapun saya melangkah akan selalu ada. Perasaan lepas kendali dan sedih nan lebay yang saya alami ketika itu merupakan pantulan dari keadaan diri dan iman saya.
Malamnya, cermin itu semakin besar saja ketika Mama berkata:
Nah lho! Saya mah gak mau dibilang orang yang nyalinya kecil. Saya jadi mikir, saya selalu berfikir kalau I'm larger than life. Bahwa dunia ini tidak terlepas dari yang namanya kesedihan dan penderitaan. Saya selalu berusaha untuk tidak lemah dengan menyerah pada kegagalan dan kesedihan. Tapi sikap dan nyali saya waktu itu tidak lagi menunjukkan Tea yang default nya.
Sebagai manusia yang sifat dasarnya adalah lupa dan suka berlebihan, apa sih yang bisa kita sombongkan?
Sampai pada akhirnya saya menyadari kalau ini sudah berlebihan. Kesedihan yang berlebihan. Jadi, ada sesuatu lah yang akhirnya membuat saya membumi kembali.
Adalah The Dearest, yang sore itu berceletuk. Mending kalau celetukannya itu nyambung sama apa yang sedang kami bicarakan. Ini mah jauh banget. Tapi ternyata mampu membuat saya membumi.
"Kesulitan itu banyaknya dateng dari perasaan kita sendiri, lho"
Ibaratnya perkataannya itu adalah cermin berukuran besar yang kemanapun saya melangkah akan selalu ada. Perasaan lepas kendali dan sedih nan lebay yang saya alami ketika itu merupakan pantulan dari keadaan diri dan iman saya.
Malamnya, cermin itu semakin besar saja ketika Mama berkata:
"Kesulitan itu akan terasa berat dan semakin sulit untuk orang yang bernyali kecil, tetapi akan terasa ringan untuk orang yang nyalinya besar"
Nah lho! Saya mah gak mau dibilang orang yang nyalinya kecil. Saya jadi mikir, saya selalu berfikir kalau I'm larger than life. Bahwa dunia ini tidak terlepas dari yang namanya kesedihan dan penderitaan. Saya selalu berusaha untuk tidak lemah dengan menyerah pada kegagalan dan kesedihan. Tapi sikap dan nyali saya waktu itu tidak lagi menunjukkan Tea yang default nya.
Sebagai manusia yang sifat dasarnya adalah lupa dan suka berlebihan, apa sih yang bisa kita sombongkan?
"[Kami jelaskan yang demikian itu] supaya kamu jangan berduka-cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan oleh-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."
(QS. al-Hadid [57]:23)
(QS. al-Hadid [57]:23)