Aku berpikir, inilah pantulan dari Yang Maha Pengasih. Inilah jawaban dari doa setiap pagi. Ia mencurahkan rezeki bagi kehidupan. Andai saja hatiku memantulkan ketaatan para kumbang.... Andai saja keyakinan yang tak terbatas itulah yang melimpahi hatiku, bukan degup kecemasan yang melekat pada manusia, keraguan dan hasratku.... Bahkan kebingungan yang tak tertanggungkan akan memasuki nalar ketika pikiran berusaha mati-matian memahami dirinya sendiri.
Siang itu lumayan panas. Walau saya berada di dalam ruangan, tetap saja panasnya terasa. Saya merasa tidak nyaman dan ketidak nyamanan itu ditambah lagi dengan fikiran saya yang selalu berjalan ke satu objek yang akhir-akhir ini (secara tidak sadar) dia lah ke mana fikiran saya akan bermuara.
"Aku pengen nangis..." celetuk saya. Bukan ditujukan untuk teman yang ada di sebelah saya karena saya sama sekali tidak ada tendensi untuk melakukan curhat colongan.
"Kenapa, Tie?" tanyanya. Seperti biasa, siap dan pasrah mendengar ocehan saya.
"Hah?""Iya, mau nangis kenapa? Cerita, dong""Enggak. Siapa yang mau nangis, cuma iseng aja kok ngomong gitu..."Padahal saya beneran pengen nangis, tapi saya malas untuk menangis. Dan hari itu, saya malas untuk bercerita. Saya malas. Untuk kesekian kalinya, saya merasa malas untuk memiliki keyakinan sementara bayang-bayang kegagalan menari-nari dihadapan.
Saya menggapnya sebagai cobaan untuk ibadah saya. Pada akhirnya saya meminjam al-Qur'an teman kerja saya untuk mengalihakan fikiran saya. Tetapi, karena mungkin saya belum biasa ikhlas.. belum bisa sabar.. melepaskan hati dan fikiran saya dari ketidakrelaan untuk suatu hasil yang belum tentu terjadi, saya menjadi tidak fokus.
Bagaimana jika hati yang telah tersusun dan nampak kuat ini tiba-tiba hancur lagi menjadi keping-keping yang lebih banyak dari kemarin? Bagaimana saya bisa menyusunnya lagi seorang diri? Ketika saya merasa saya menemukan kembali sesuatu yang hilang, bagaimana saya bisa memiliki keyakinan lagi apabila sesuatu yang baru ditemukan itu hilang lagi? Dikala saya sudah mulai terbiasa dengan rasa yang ini, bagaimana apabila rasanya berubah menjadi pahit?
Saya sadar, kehilangan dan perubahan itu sangat dekat. Tidak bisa dihindari. Tapi apakah saya cukup kuat untuk itu? Bagaimana apabila saya tidak rela?
Tie, kalau memang pada akhirnya hati hancur lagi menjadi kepingan-kepingan yang bahkan terlalu sulit untuk disatukan lagi, pastinya itu karena kehendak Allah. Apa yang menurut kita baik dan indah belum tentu baik, Tie, karena Allah Maha Mengetahui apa yang tidak kita ketahui.
Dan apabila kehilangan dan perbedaan rasa itu menyapa, itu mungkin karena kamu sudah mulai melenceng. Kamu menjadi terlalu tergantung kepada sesuatu yang tidak seharusnya. Bukankah kita seharunya mencintai ciptaan karena Yang Mencipta?
Sampai akhirnya saya sadari bahwa selama ini saya kuat juga. Masih bisa berjalan tegak, manyusun kepingan hati yang berserakan, dan tetap tersenyum ketika cerita lama membayangi.
Ke mana lagi hati saya akan bermuara selain kepada Allah. Ketika semuanya terasa tak mungkin dan saya merasa terasing, Allah lah yang mampu membantu saya mengatasi riak-riak pengganggu itu.
Kita, tanpa kita sadari, dibentuk oleh kehilangan. Dan apa yang hilang akan digantikan, insyaAllah.
Hmm.. kenapa saya bisa lupa, yah?
Saya harus menguatkan keyakinan saya dengan bergantung pada Allah. Saya harus tetap berusaha dengan doa yang tidak pernah terputus kepada Allah. Apapun hasil akhirnya, itu bukanlah akhir dari segalanya. Seperti apa yang selalu mama saya katakan: selalu ada pelangi setelah badai menerpa, insyaAllah.
Dan apabila memang kehilangan datang kembali dan rasa berubah menjadi pahit, seharusnya tidak saya sesali. Sebaliknya saya harus bersyukur karena kedua mata saya masih bisa terbuka, jantung saya masih berdetak normal, saya masih bisa menghirup udara bebas... Itu berarti hari yang indah itu ada. Dan saya masih diberi kepercayaan untuk memperbaiki apa yang salah dan membuat cerita yang lebih indah lagi :)
Kau begitu lemah. Bertawakallah.
Samudra menjaga setiap ombaknya hingga tiba di pantai.
http://ceritatea.blogspot.com