Sunday, December 19, 2010

Good Tea Brings a Good Life

I'm back..
for good..

Ya, saya kembali untuk sesuatu yang lebih lebih lebih baik :) I have dreams. Including the dreams that I really want to reach since I was a little girl. I believe this is the best way to purse those :)

Bekerja dan memiliki quality time denga keluarga setiap hari. Bekerja dengan secangkir teh hangat menemani. Bekerja dengan diiringi musik-musik jazz favorit saya (Olivia Ong never fails me ;) ) non-stop!

Well, I'm proudly saying that I am now a work-from-home mom :)


Photobucket

Sunday, October 31, 2010

Kebahagiaan Adalah...

Kebahagiaan adalah...
ketika mendapatiku bersamamu
terbaring melamun dengan mata terpicing ke angkasa
merajut benang-benang tak kasat mata
membuat ada yang dulunya semu
 
Kebahagiaan adalah...
mimpi yang harus dibuat menjadi nyata, katamu
sambil kedua mata teduhmu menatap gemintang genit tanpa jemu
...
aku terdiam
keheningan yang nyaman

Kebahagiaan adalah...
 
lalu aku memelukmu
tanpa berkatapun kau sudah tahu


Sunday, August 22, 2010

Berkawan Hujan

Malas sudah ku berdebat dengan hari
menunggu esok yang sedari awal kunanti
Tidur saja! kata hati berkata,
supaya esok cepat menghampiri

Tapi tak bisa ku terperpejam
Hujan, oh hujan
kurindu iramu mu
membawaku jauh terlelap dalam mimpi yang diam

Hal yang Tak Penting

Chiripa termangu. Merasa kantuk menyerangnya tiba-tiba sama seperti rasa cemburu dan penasaran yang bergugus di benaknya akhir-akhir ini terhadap laki-laki yang berada di hadapannya. Sahabatnya. Yang dulu kekasihnya. Zelig. Lelaki berprofil Marroko yang tengah sibuk berkutau dengan pena dan agendanya. 

"Kali ini apa lagi?" Chiripa alias Raissa (Chiripa adalah nama kesayangan yang ditujukan oleh Zelig kepadanya) akhirnya menubruk keheningan yang tak nyaman. 

Sontak Zelig mengangkat kepalanya. Mengalihkan tatapan seriusnya yang sedari tadi bermesraan dengan sesuatu yang tengah ia tulis di agendanya. Sesaat tatapan mata hitam pekat Zelig beradu dengan tatapan mata kecoklatan Chiripa, sebelum akhirnya Chiripa melempar pandang ke luar jendela. Lebih tertarik dengan tik tik hujan di luar sana.

Zelig tersenyum. Senyum yang selama ini selalu menghangatkan Chiripa.

"Apa ya... sesuatu yang tidak penting, koq..."

"Jadi, kamu nelfon aku, ngajak aku ke sini hanya untuk melihat kamu menulis?" Chiripa menahan emosinya yang hampir meluap. Emosi yang telah setengah jam lalu mengetuk-ngetuk batas kesabarannya.

Zelig tersenyum lagi. Tapi kali ini membuat Chiripa jenuh.

"Tolong aku..." nada suaranya penuh permohonan. Permohonan yang tulus. Impuls, jemari Zelig merengkuh jemari Chiripa. Tapi kali ini tidak ada getaran itu.

"Eh..." Chiripa tak tahu harus berkata apa karena terlalu terkejut dengan perubahan ekspresi Zelig.

"Sejak pertama kita bertemu lagi, aku sudah ingin mengatakannya, Raissa, tapi aku.. entah lah.. buakannya takut, hanya khawatri tidak tepat... Tapi bukan aku yang meminta rasa ini datang padanya. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk benar-benar mengakuinya padamu. Sejujurnya"

"Apa ini?" 

"Diamku sedari tadi adalah gundah"

"Zelig..."

"Apa kamu ingin tahu apa yang sedari tadi kutulis di agendaku itu?"

Chiripa terdiam. Menatap mata Zelig lekat. Mata laki-laki yang dulu selalu menatapnya penuh kehangatan.

"Apapun yang kamu tulis tadi aku tak mau tahu. Yang aku mau tahu adalah ada apa sebenarnya ini?"

"Agitha.."

"What?!" Raissa sedikit terlonjak ketika nama adiknya terlontar mulus dari bibir Zelig. "Ada apa dengan Agitha?"

"Kami saling jatuh cinta" tegas Zelig mengatakannya. Dengan sorot mata lembut. Sorot mata orang jatuh cinta.

Apakah sorot mata Zelig dulu seperti itu juga ketika ia menyebut namaku?

Segera Raissa menendang pertanyaan itu kuat-kuat. "Agitha tidak pernah cerita" ya, bagaimana Agitha itu bisa cerita kepadaku kalau kenyataannya selama ini hubunganku dengannya memang tidak terlalu dekat. Raissa tiba-tiba merasa konyol dengan pertanyaannya sendiri.

"Semuanya bermula di Surrey.. sekitar enam bulan yang lalu. Waktu itu aku berlibur. Tak tahu kalau adimu itu kuliah di sana. Seingatku dia di Leeds"

Sedikit gundah berkubang di hati Raissa. Tapi tak ada cemburu. Yah, kalau boleh jujur ada. Sedikit. Kenapa Agitha? Walaupun sudah lama berlalu tapi rasa sakit yang Zelig tinggalkan sebagai kenang-kenangan untuk Raissa masih terasa sampai sekarang.

Hening berkuasa sejenak.

"Jadi maksudnya kau ingin meminta restuku?"

"Ya, salah satunya.." nada suara Zelig mengambang.

"Salah satunya?" Raissa menekankan kembali.

"Bantu aku"

"Bukannya kamu bilang kalian saling mencinta?"

"Ya, tapi ada rasa tak sudi di Agitha.. tak sudi karena aku pernah menjalani hari-hari bersamamu.. dan mencampakanmu"

Raissa terdiam dengan sorot mata ganjil.

"Agitha yang bilang begitu. Menurutnya aku mencampakanmu" Santai, Zelig menyeruput lembut teh hijaunya.

Raissa bangkit. Dengan nada tenang tapi menusuk dia berkata "Dan memang benar apa yang dikatakan Agitha. Apapaun alasannya wakut itu, kamu memang mencampakanku. Mempermalukanku. Kalau aku jadi Agitha aku gak akan menjatuhkan pilihanku padamu. Dan aku yakin Agitha akan seperti itu"


Saturday, August 21, 2010

Menunggu

credit goes to eaufildealau

Bulan mulai menanjak naik dan naik
dan uhu-uhu si burung hantu mulai meninabobokan mereka yang terantuk mengantuk
heran,
mata ini tak mau juga tertutup,
padahal maksud hati ingin segera melepas penat
mana para gemintang, 
yang berjanji membuaiku?
cepatlah datang, temani aku menuju negeri di balik pelangi itu!

Saturday, July 31, 2010

Ia Terus Datang..Lagi dan Lagi

"I have a dream," he said slowly. "I persist in dreaming it, although it has often seemed to me that it could never come true. I dream of a home with a hearth-fire in it, a cat and dog, the footsteps of friends -- and YOU!"* 
Anne of The Island, Lucy M. Montgomery


Dan sejenak jeda memisahkan kita
hanya hitungan hari memang
tetapi rasanya seperti berjalan di tempat
hanya dengan melihat cerah dan kelamnya luasnya langit
membuatku sedikit tenang
karena kita berada di bawah langit yang sama

***


ps: saya jatuh cinta! setiap detik, menit, jam, hari...selamnya :)





*part of the conversations between Gilbert Blythe and Anne Shirley

Tuesday, July 6, 2010

Dia Sedang Apa

Main-main sebentar ke blog seorang teman lama yang dulu biasa menjadi objek penderita, Ontohod, ternyata tidak ada postingan baru dari se gendut itu. Yang saya dapati hanya postingan dengan judul "Dia Sedang Apa" yang membuat saya senyum-senyum sendiri dan berhasil membuat saya menoleh ke masa lalu.

Tidak ada kata-kata, hanya gambar ini:


Saya jadi teringat, kalau saya memesan (baca:maksa) Ontohod buat ngebuatin ilustrasi untuk puisi saya. Desember itu, saya semangat banget pengen kayak Shel Silverstein. Bedanya, Silverstein natural dalam mengekspresikan pusinya ke dalam gambar, sedangkan saya tidak -__-"

Kemana ya puisi saya itu? *mikir* 

Dia sedang apa?
menunggu hujan ketika mentari terik menyapa

I Like to Say but Not to Tell*

This is why I always wonder
I'm a pond full of regrets
I always try to not remember
Rather than to forget
Not Going Anywhere, Keren Ann


Jadi, saat ini saya sedang merasa kacau dan ambigu.. persis seperti Bob Dylan dalam film nya I'm Not There. Saya seperti bukan saya tapi pada saat bersamaan merasa saya ini saya banget -__-

Saya jadi teringat seorang teman yang ingin rasanya menghilangkan sebgian memori indah dan tidak indahnya bersama seseorang. Saya bilang sama dia, kalaupun bisa gakan ada gunanya. Hidup itu hidup karena ada kenangan indah dan buruk. Pengalaman. 

Kalau saya sekrang ini bukannya mau menghilangkan memori saya bersama seseorang, tapi lebih kepada, "bring back my old days to me NOW"

Tapi kan itu cuma sebatas keinginan saja.. Kala masa lalu tidak ada mana ada masa sekarang. 

Kalau sekarang lagi merasa nge-down, kacau, ambigu, aneh, nge-blur atau apapun namanya, nanti pasti akan datang masa "kejelasan" :)

Saturday, May 29, 2010

Malam Itu Dia Mengulurkan TanganNya

Kadang aku tak mengerti
mencoba memahami kemana kepulan asap dari cangkir tehku pergi
menghilang begitu saja
seperti tak berarti
pertanyaan bodoh kah?
aku tak peduli

Malam-malam ku habiskan menatap rembulan tua
sambil bersenandung kecil tak berarah
sekali lagi, aku mencoba untuk memahami
kenapa purnama tak pernah bercerita
padahal dia telah ada cukup lama

Tuhan...
sungguh aku peduli dengan semua yang dunia sediakan
sampai akhirnya aku berada di titik ini
ketika aku sungguh sungguh peduli
saat ku merasa tak ada tangan Mu lagi membelaiku

Gemintang yang bisanya terlihat begitu indah
kini terlihat begitu bodoh
menari-nari riang tanpa perasaan di tengah kegundahanku
"Lebih bodoh mana, mereka atau aku?" cerca batinku
membuatku malu

Lagi-lagi aku cemburu
langit dan bumi tak mengacuhkanku
mereka bercakap-cakap riang
tertawa lepas
tapi bukan untukku
aku tak ada
walau aku merasa seperti raksasa yang berdiri di tengah hiruk-pikuk kehidupan

Tak ada cinta untukku
tak ada

Sampai di suatu malam yang riuh-rendah
ketika seperti biasa aku raksasa yang tak terlihat
lelaki lusuh setengah baya itu berjalan ke arahku
bukan untuk menyapaku verbal
hanya lewat saja dengan tertatih-tatih
kedua matanya hidup dan cerah menataplku lekat
sebelum lewat dia tersenyum.. tersenyum hangat

Damai..
Damai kurasa...

Malam itu ku tahu,
Dia mengulurkan Tangan Nya lagi padaku

Sunday, May 16, 2010

Suatu Hari di Akhir Senja

Ketika Tuhan menjawab tanyaku dalam hati
dalam setiap bulir air hujan sampai yang paling terakhir
ku meminta
tapi ku memaksa
pertanda aku makhluk lemah tak berdaya

Aku siapa?

Ketika aku terseok-seok di sebuah jalan kota tua
tapi Tuhan tetap memberikan kasihNya
melalui cahaya rembulan yang berpendar lemah
lemah..
tapi setidaknya rembulan mampu menerangi alam raya

Sampai aku merasakan cemburu
tersulut rindu yang terus memburu
aku ya aku
bukan mereka
aku tidak sama
tidak ada orang yang sama
tapi aku cemburu

Kenapa?

Sampai Tuhan memberikan jawabNya
selalu... walau aku berpolah seperti si dungu

Saat itu di akhir senja
ketika ku tak dapat menikmati cahaya matahari yang terakhir
karena terselubungi kabut buatan...kabut cemburu
Tuhan tetap tak berpaling dariku
memberi pandanganku rembulan yang pucat
menusukku dengan rasa dingin
memenuhi ruang telingaku dengan irama tua hujan
membuatku menjawab desau angin

Di akhir senja itu
aku tahu Tuhan tak kan pernah meninggalkanku
hatiNya tak pernah terbagi

23 Tahun


Selamat ulang tahun dede Jeffri...
Berapapun umurmu, kamu akan selalu menjadi dede ku
dede nya kakak
:)

Seperti Cinta: Romantisme Claude Debussy

Saya penikmat musik klasik. Dan untuk Claude Debussy, saya "mengenal"nya ketika membaca Twilight: ketika Bella mendapati CD apa yang berada di dalam CD player nya Edward Cullen: Clair de Lune by Debussy.

Saya memang hanya penikmat musik klasik, bukan pengamat bahkan tidak ada kapasitas sekalipun untuk mengomentari, sejak saya tidak memahami apa itu prelude, menuet, dan passepied. Tapi setiap kali saya mendengarkan Clair de Lune, tak jarang selalu menyentuh sisi sentimentil saya. Clair de Lune yang berarti moonlight, belakangan baru saya kalau kalau inspirasi Debussy atas Clair de Lune adalah dari puisinya Paul Verlaine dengan judul yang sama.



While they sing in a minor key
Of all-conquering love and careless fortune,
They seem not to trust their own fantasy
And their song melts away in the light of the moon,*

Saya merasakan cinta datang merengkuh setiap kali menatap kubah langit di tengah malamnya alam raya. Pun ketika tanpa bintang dan bulan menyapa. Seperti cinta yang artinya memberi inspirasi dan kesendirian yang bagi saya berarti imajinasi, saya selalu mendapatkan perasaan postif bahwa dengan tangan saya ini, saya bisa mewujudkan apa yang menjadi cita-cita saya.

They seem not to trust their own fantasy

dan saya tidak mau tidak mempercayai mimpi saya. Sesuatu yang selalu saya visualisasikan di dalam fikiran saya.


Dan di manapun kami berada
aku tahu, kami selalu menatap langit yang sama
malam yang sama
dengan bulan yang semakin menua


*Claire de Lune by Paul Verlaine

Saturday, May 15, 2010

Mengerti dan Tidak Mengerti

Tak jarang kau memintaku memverbalkan maksudku
dengan cara yang sederhana
supaya kau mengerti aku
dan aku mengerti kamu

Kamu bertanya-tanya
aku pun begitu
Tapi dalam ketidak mengertianku tak jarang ku tersenyum

Jangan khawatir, sayang
aku tidak akan merepotkanmu dengan pertanyaan-pertanyaanku padamu
karena aku sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan untuk diriku sendiri

Saturday, May 8, 2010

Abu-abu Kelabu

Dalam remang, entah pagi entah siang entah sore, entah malam, kami terus menerus saling menguji daya cinta lidah kami. Selalu remang. Hanya remang. Lebih baik remang – karena cinta yang jelas dan terang, yakin dan pasti, bersih dan steril, seperti bukan cinta lagi. Jadi, memang tak bisa kulihat wajahnya dengan jelas – apakah yang masih bisa dilihat dari sebuah wajah yang terlalu dekat, sehingga tak berjarak, ketika saling menguji lidah, selain ketakjelasan dalam keremangan dengan cahaya lembut 
 yang berusaha menembus gorden ?
Petikan cerpen Linguae, Seno Gumira Ajidarma



Semuanya menjadi jelas
ketika aku menyukai ketidakjelasan dalam sebuah kepastian
seperti janji-janji yang mengawang jauh di atas awan
atau seperti bahasa yang aku tak mau mengerti
 
Aku bukanlah kamu
tidak akan dalam genggamanmu
tak akan pernah
dan selamanya bukan
                                                                                          Abu-abu Kelabu

Sunday, May 2, 2010

Pelajaran Pertama: Dalam Setiap Penggalan

Tapi mungkin kita perlukan sunyi
(Barangkali dalam secangkir kopi):
Kelam, pekat, mengepul dari pori bumi
Dari kolong waktu yang kenyang dilukai
penggalan puisi Ook Nugroho, Pelajaran Pertama Menulis Sajak


Mungkin ini seperti titik balik 
Setelah sekian lama ku alami segala yang membuatku jungkir balik
Atau kenyataan yang terpantul dari cermin tak kasat mata
Ketika otak ini mengalami mati rasa

Jadi, semuanya jelas sudah. Bukan kemungkinan ketika akhirnya saya menemukan jawaban mengapa imaji ini mati adalah karena penyakit yang saya buat sendiri. Pernyataan klise bahwa "kamu adalah apa yang kamu fikirkan" itu memang menjadi kenyataan sekarang. Itu sudah terbukti pada saya. Ketika saya merasa tidak mampu untuk meninggalkan zona nyaman saya.

Entah mengapa semuanya terasa indah. Ketika imaji saya beku tiba-tiba saya teringat penggalan dari salah satu puisinya Shel Silverstein yang judulnya Forgotten Language:

Once I spoke the language of the flowers...
How did it go?
How did it go?

Kalau diterjemahkan ke dalam versi saya, kira-kira seperti ini:

Pernah untuk waktu yang lama aku bersekutu dengan kata
Sampai akhirnya ku merasa tak bisa membaca
Ku biarkan dia pergi
Sampai aku tak utuh lagi

Tuesday, February 2, 2010

Ruang Imajinasi: Peri Kecil Itu Kembali!

"Anne," kata Davy, "di mana sih, tidur?"

Anne sedang berlutut di jendela loteng barat untuk mengamati matahari terbenam yang mirip bunga raksasa dengan kelopak-kelopak bunga krokus dengan bagian tengahnya berwarna kuning kemerahan. Dia memalingkan muka ketika mendengar pertanyaan Davy dan menjawab sambil menerawang.

"Di atas gunung-gunung di bulan, di bawah lembah-lembah bayangan."

Paul Irving pasti mengerti perkataannya, atau membuat suatu pengertiannya sendiri. Namun, Davy yang praktis, yang sering kali Anne sadari dengan pedih, sma sekali tidak memiliki sedikitpun imajinasi, malah bingung dan sebal.
Lucy M. Montgomery - Anne of Avonlea


hitam
gelap
kelam
berusaha untuk terlelap
tapi mata ini tetap terjaga 
ketika kudapati di langit sana berkerlap-kerlip sebuah tanda
ternyata itu si peri kecil!
memanggil dan terus memanggil
dengan apa ku membalas?
ketika yang kupunya hanya seberkas cahaya lilin

Sedari dulu saya selalu beranggapan bahwa bintang yang paling bersinar dipagi buta itu adalah si peri kecil sedang berusaha untuk berbicara pada saya melalui kerlap-kerlip senternya. Payahnya, saya tidak bisa morse. Kalaupun saya belajar, saya khawatir dia dan saya memiliki morse dengan arti yang berbeda. Selama ini saya hanya mampu menatap saja dan saya rasa si peri kecil cukup puas dengan itu.

Pagi tadi setengah jam sebelum azan Subuh, si peri kecil menyapa, ketika saya menyibak tirai jendela. Gelap sekitar karena mati lampu tidak lagi membuat saya takut karena ternyaya si peri kecil ada untuk menerangi saya :) 

Seperti biasa, hal-hal yang membuat hati senang adalah hal-hal kecil yang mungkin biasa-biasa saja. Kenapa kita tidak mempergunakan ruang imajinasi kita yang selalu kita anggap tidak ada? 


http://ceritatea.blogspot.com

Thursday, January 14, 2010

Dan Pada Akhirnya...

17th November
Dear Daddy-Long-Legs

Such a blight has fallen over my literary career. I don't know whether to tell you or not, but I would like some sympathy--silent sympathy, please; don't re-open the wound by referring to it in your next letter.

I've been writing a book, all last winter in the evenings, and all the summer when I wasn't teaching Latin to my two stupid children. I just finished it before college opened and sent it to a publisher.He kept it two months, and I was certain he was going to take it; but yesterday morning an express parcel came (thirty cents due) and there it was back again with a letter from the publisher, a very nice, fatherly-letter--but frank! He said he saw from the address that I was still at college, and if I would accept some advice, he would suggest that I pull all of my energy into my lessons and wait until I graduated before beginning to write. He enclosed his reader's opinion. Here it is:

'Plot highly improbable. Characterization exaggerated. Conversation unnatural. A good deal of humor but not always in the best of taste. Tell her to keep on trying, and in time she may produce a real book'

Not on the whole flattering, is it, Daddy? And I thought I was making a notable addition to American literature.I did truly. I was planning to surprise you by writing a great novel before I graduated. I collected the material for it when I was at Julia's last Christmas. But I dare say the editor is right. Probably two weeks was not enough in which to observe the manners and customs of a great city.

I took it walking with me yesterday afternoon, and when I came to a gas house, I want in and asked the engineer if I might borrow his furnace. He politely opened the door, and with my own hands I chucked it in. I felt as though I had cremated my only child!

I went to bed last night utterly dejected; I thought I was never going to amount anything, and that you had thrown away your money for nothing. But what do you think? I woke up this morning with a beautiful new plot in my head, and I've been going to about all day planning my characters, just as happy as I could be. No one can ever accuse me of being pessimistic! If I had a husband and twelve children swallowed by an earthquake one day, I'd bob up smilingly the next morning and commence to look for another set.

Affectionately,
Judy

***

Memang tidak salah ketika malam itu saya memilih untuk membeli Daddy-Long-Legs nya Jean Webster. Niatnya hanya akan membeli empat seri Anne of Green Gables untuk melengkapi seri yang pertama (mudah-mudahan Mama gak baca post saya ini.. kalau ketahuan saya lebih milih beli buku daripada makan, bisa-bisa... *hiiyy*) Wah, saya benar-benar pecinta pesta! Pesta buku! Apalagi yang bisa saya harapkan ketika "patah hati" melanda dan mewarnai malam-malam saya dengan kegelisahan dan penyesalan.




Tapi Jerusha "Judy" Abbot memang benar-benar hebat. Dia menginspirasi saya; cerita-ceritanya, perasaan-perasaannya, pendapat-pendapatnya, sudut pandangnya, dan... surat-suratnya kepada Daddy-Long-Legs yang tidak lain adalah Mr. Jervie Pendleton, sosok yang selama ini dia sukai.

Well, kesampingkan dulu romansa sederhana tapi manis dan penuh kejutan antara Judy Abbot dan Master-Jervie-Daddy-Long-Legs-Pendleton-Smith, karena yang membuat saya senang adalah sebuah plot baru tiba-tiba saja datang ketika saya membaca surat Judy untuk Daddy-Long-Legs ketika naskahnya ditolak.

What a life!

Rayyan, Raissa, Zikra... saya gak kan pernah ninggalin kalian. Walau sudah tak terhitung jumlahnya ketika saya merasa putus asa dan ingin berhenti, tapi saya tidak akan pernah benar-benar akan putus asa dan berhenti.

Semangad!!!

xoxo

Tuesday, January 12, 2010

Tentang Kehilangan (lagi)

"Sialnya, novelku terengah-engah, terbatuk-batuk, lalu mati. Temanya sudah bagus, kalimat-kalimatnya juga. Tokoh-tokohnya begitu hidup dan sehat, sampai seperti manusia sungguhan yang perlu akta lahir. Kau sudah melakukan riset, mengumpulkan fakta-fakta. Dialognya lancar penuh ketegangan. Pokoknya hasilnya pasti hebat. Tapi ternyata kenyataannya beda. Meski bukumu kelihatannya jelas-jelas menjanjikan, pada titik tertentu kau menyadari bahwa bisikan yang selama ini menghantuimu jauh di dasar pikiranmu ternyata benar: novelmu tidak bakal jalan."
Catatan Yann Martel dalam novel Life of Pi



credit goes to naveen


Sama sekali gak bisa bohong mengenai perasaan saya ketika Rayyan, Raissa, dan Zikra berdiri membelakangi saya untuk entah yang keberapa kalinya. Setelah berkali-kali mengalami perubahan dan alur. Ketika di satu titik saya merasa semuanya sudah pas, sudah sempura, sudah memenuhi segalanya, ternyata ada suatu hal yang membuat semua elemen yang saya bangun itu tidak memercikkan cahayanya.

Perasaan saya mungkin sama seperti Yann Martel ketika bangkit lagi untuk menulis novel berikutnya setelah kegagalan novel pertamanya di pasaran.

Apa itu kosong?


perasaan yang lebih menyengsarakan daripada jeda
kehilangan...
seperti ketika malam meraja
tetapi hanya hitam tak bernyawa

Dari tadi, tak henti-hentinya saya memutar Hold Me Now nya Renee Olstead. Bisa dibilang soundtrack kehilangan saya kali ini. Sebenarnya bukan kehilangan karena mengenai proyek pribadi saya ini saya gak kan pernah nyerah. Walau sedih banget karena saya merasa banyak waktu yang terbuang. Bukan, bukan... bukan waktu yang terbuang. Proses. Pasti ada jalannya.

Ya ampuun... rasanya sama seperti patah hati!

Hold me like we'll love forever
Hold me now
I can't believe we 're making our last memories
It's not enough
Just hold me now...
Hold Me Now-Renee Olstead


http://ceritatea.blogspot.com