Saturday, May 29, 2010

Malam Itu Dia Mengulurkan TanganNya

Kadang aku tak mengerti
mencoba memahami kemana kepulan asap dari cangkir tehku pergi
menghilang begitu saja
seperti tak berarti
pertanyaan bodoh kah?
aku tak peduli

Malam-malam ku habiskan menatap rembulan tua
sambil bersenandung kecil tak berarah
sekali lagi, aku mencoba untuk memahami
kenapa purnama tak pernah bercerita
padahal dia telah ada cukup lama

Tuhan...
sungguh aku peduli dengan semua yang dunia sediakan
sampai akhirnya aku berada di titik ini
ketika aku sungguh sungguh peduli
saat ku merasa tak ada tangan Mu lagi membelaiku

Gemintang yang bisanya terlihat begitu indah
kini terlihat begitu bodoh
menari-nari riang tanpa perasaan di tengah kegundahanku
"Lebih bodoh mana, mereka atau aku?" cerca batinku
membuatku malu

Lagi-lagi aku cemburu
langit dan bumi tak mengacuhkanku
mereka bercakap-cakap riang
tertawa lepas
tapi bukan untukku
aku tak ada
walau aku merasa seperti raksasa yang berdiri di tengah hiruk-pikuk kehidupan

Tak ada cinta untukku
tak ada

Sampai di suatu malam yang riuh-rendah
ketika seperti biasa aku raksasa yang tak terlihat
lelaki lusuh setengah baya itu berjalan ke arahku
bukan untuk menyapaku verbal
hanya lewat saja dengan tertatih-tatih
kedua matanya hidup dan cerah menataplku lekat
sebelum lewat dia tersenyum.. tersenyum hangat

Damai..
Damai kurasa...

Malam itu ku tahu,
Dia mengulurkan Tangan Nya lagi padaku

Sunday, May 16, 2010

Suatu Hari di Akhir Senja

Ketika Tuhan menjawab tanyaku dalam hati
dalam setiap bulir air hujan sampai yang paling terakhir
ku meminta
tapi ku memaksa
pertanda aku makhluk lemah tak berdaya

Aku siapa?

Ketika aku terseok-seok di sebuah jalan kota tua
tapi Tuhan tetap memberikan kasihNya
melalui cahaya rembulan yang berpendar lemah
lemah..
tapi setidaknya rembulan mampu menerangi alam raya

Sampai aku merasakan cemburu
tersulut rindu yang terus memburu
aku ya aku
bukan mereka
aku tidak sama
tidak ada orang yang sama
tapi aku cemburu

Kenapa?

Sampai Tuhan memberikan jawabNya
selalu... walau aku berpolah seperti si dungu

Saat itu di akhir senja
ketika ku tak dapat menikmati cahaya matahari yang terakhir
karena terselubungi kabut buatan...kabut cemburu
Tuhan tetap tak berpaling dariku
memberi pandanganku rembulan yang pucat
menusukku dengan rasa dingin
memenuhi ruang telingaku dengan irama tua hujan
membuatku menjawab desau angin

Di akhir senja itu
aku tahu Tuhan tak kan pernah meninggalkanku
hatiNya tak pernah terbagi

23 Tahun


Selamat ulang tahun dede Jeffri...
Berapapun umurmu, kamu akan selalu menjadi dede ku
dede nya kakak
:)

Seperti Cinta: Romantisme Claude Debussy

Saya penikmat musik klasik. Dan untuk Claude Debussy, saya "mengenal"nya ketika membaca Twilight: ketika Bella mendapati CD apa yang berada di dalam CD player nya Edward Cullen: Clair de Lune by Debussy.

Saya memang hanya penikmat musik klasik, bukan pengamat bahkan tidak ada kapasitas sekalipun untuk mengomentari, sejak saya tidak memahami apa itu prelude, menuet, dan passepied. Tapi setiap kali saya mendengarkan Clair de Lune, tak jarang selalu menyentuh sisi sentimentil saya. Clair de Lune yang berarti moonlight, belakangan baru saya kalau kalau inspirasi Debussy atas Clair de Lune adalah dari puisinya Paul Verlaine dengan judul yang sama.



While they sing in a minor key
Of all-conquering love and careless fortune,
They seem not to trust their own fantasy
And their song melts away in the light of the moon,*

Saya merasakan cinta datang merengkuh setiap kali menatap kubah langit di tengah malamnya alam raya. Pun ketika tanpa bintang dan bulan menyapa. Seperti cinta yang artinya memberi inspirasi dan kesendirian yang bagi saya berarti imajinasi, saya selalu mendapatkan perasaan postif bahwa dengan tangan saya ini, saya bisa mewujudkan apa yang menjadi cita-cita saya.

They seem not to trust their own fantasy

dan saya tidak mau tidak mempercayai mimpi saya. Sesuatu yang selalu saya visualisasikan di dalam fikiran saya.


Dan di manapun kami berada
aku tahu, kami selalu menatap langit yang sama
malam yang sama
dengan bulan yang semakin menua


*Claire de Lune by Paul Verlaine

Saturday, May 15, 2010

Mengerti dan Tidak Mengerti

Tak jarang kau memintaku memverbalkan maksudku
dengan cara yang sederhana
supaya kau mengerti aku
dan aku mengerti kamu

Kamu bertanya-tanya
aku pun begitu
Tapi dalam ketidak mengertianku tak jarang ku tersenyum

Jangan khawatir, sayang
aku tidak akan merepotkanmu dengan pertanyaan-pertanyaanku padamu
karena aku sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan untuk diriku sendiri

Saturday, May 8, 2010

Abu-abu Kelabu

Dalam remang, entah pagi entah siang entah sore, entah malam, kami terus menerus saling menguji daya cinta lidah kami. Selalu remang. Hanya remang. Lebih baik remang – karena cinta yang jelas dan terang, yakin dan pasti, bersih dan steril, seperti bukan cinta lagi. Jadi, memang tak bisa kulihat wajahnya dengan jelas – apakah yang masih bisa dilihat dari sebuah wajah yang terlalu dekat, sehingga tak berjarak, ketika saling menguji lidah, selain ketakjelasan dalam keremangan dengan cahaya lembut 
 yang berusaha menembus gorden ?
Petikan cerpen Linguae, Seno Gumira Ajidarma



Semuanya menjadi jelas
ketika aku menyukai ketidakjelasan dalam sebuah kepastian
seperti janji-janji yang mengawang jauh di atas awan
atau seperti bahasa yang aku tak mau mengerti
 
Aku bukanlah kamu
tidak akan dalam genggamanmu
tak akan pernah
dan selamanya bukan
                                                                                          Abu-abu Kelabu

Sunday, May 2, 2010

Pelajaran Pertama: Dalam Setiap Penggalan

Tapi mungkin kita perlukan sunyi
(Barangkali dalam secangkir kopi):
Kelam, pekat, mengepul dari pori bumi
Dari kolong waktu yang kenyang dilukai
penggalan puisi Ook Nugroho, Pelajaran Pertama Menulis Sajak


Mungkin ini seperti titik balik 
Setelah sekian lama ku alami segala yang membuatku jungkir balik
Atau kenyataan yang terpantul dari cermin tak kasat mata
Ketika otak ini mengalami mati rasa

Jadi, semuanya jelas sudah. Bukan kemungkinan ketika akhirnya saya menemukan jawaban mengapa imaji ini mati adalah karena penyakit yang saya buat sendiri. Pernyataan klise bahwa "kamu adalah apa yang kamu fikirkan" itu memang menjadi kenyataan sekarang. Itu sudah terbukti pada saya. Ketika saya merasa tidak mampu untuk meninggalkan zona nyaman saya.

Entah mengapa semuanya terasa indah. Ketika imaji saya beku tiba-tiba saya teringat penggalan dari salah satu puisinya Shel Silverstein yang judulnya Forgotten Language:

Once I spoke the language of the flowers...
How did it go?
How did it go?

Kalau diterjemahkan ke dalam versi saya, kira-kira seperti ini:

Pernah untuk waktu yang lama aku bersekutu dengan kata
Sampai akhirnya ku merasa tak bisa membaca
Ku biarkan dia pergi
Sampai aku tak utuh lagi